MAKNA SAKRAL HARI JUMAT NYARIS TERLUPAKAN

Oleh : Drs.H.Tarsi, S.H.,M.H.I 

Hari Jum’at adalah hari yang penuh keistimewaan, di mana beberapa hadits Rasulullah saw menyebutkan di antara keistimewaan dan kemuliaan hari Jum’at ialah diciptakannya Nabi Adam as oleh Allah swt, dimasukkannya dalam sorga, diturunkannya ke dunia dan diterima taubatnya. Selain itu hari Jum’at juga sebagai hari dikabulkannya doa-doa seseorang dan Allah membebaskan penghuni neraka sebanyak 600.000 orang setiap jam pada hari Jum’at. Bahkan hari Jum’at pula, hari kiamat akan terjadi. Sehingga dengan demikian hari Jum’at dikenal sebagai “sayyidul ayyam wa ’idul muslimin”, yaitu penghulu hari dan hari raya umat Islam.

Pada hari Jum’at diwajibkan bagi setiap muslim untuk melaksanakan shalat Jum’at, terutama bagi yang mukallaf, laki-laki, merdeka, tidak sedang musafir, dan tidak dalam keadaan uzur/sakit. Kemudian disunatkan pula bagi kaum muslimin mandi sebelum berangkat ke masjid, bersiwak, memakai pakaian yang baik, berharum-haruman, dan bersegera datang ke masjid.

Kemuliaan dan keistimewaan hari Jum’at dewasa ini sering kali dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai hari biasa, tak ubahnya seperti hari-hari yang dilewati dalam rentetan hari dalam seminggu. Disadari atau tidak, makna Jum’at yang mulia itu kini semakin hari semakin bergeser dari makna asalnya, bahkan nyaris terlupakan. Hal ini dapat dilihat ketika menjelang sampai waktunya pelaksanaan shalat Jum’at, masjid yang seyogianya sudah dihadiri jama’ah, namun ternyata masih terdapat shaf-shaf yang kosong. Ada yang masih dalam perjalanan menuju masjid, ada yang  sengaja melambat-lambatkan datang kemesjid, ada yang sibuk dengan pekerjaan, bahkan ada pula yang sudah datang tetapi belum memasuki masjid.

Tidak hanya itu, kita lihat hampir di setiap lingkungan masjid, ada saja para pedagang yang menggelar dagangannya malahan sampai khatib menyampaikan khotbahnya. Padahal jelas-jelas Allah melarang melakukan transaksi jual beli apa saja ketika masuknya shalat Jum’at. Hal ini dijelaskan Allah dalam Al Qur’an surah Jum’ah ayat 9:

Artinya: Hai, orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Ayat ini telah jelas menunjukkan kepada kita, apabila khatib telah naik ke atas mimbar, dan muadzin telah azan, maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muadzin itu dan meninggalkan semua pekerjaan untuk masuk ke dalam masjid.

            Kalau kita mau memperhatikan suasana hari Jum’at yang mulia dan agung ini, akan sangat terasa ketika kita berada di perkampungan/di pedesaan, di mana hari Jum’at masih dimaknai sebagai hari yang sakral, dihormati dan dijunjung tinggi. Bahkan jauh sebelum waktu menjelang pelaksanaan shalat Jum’at, masyarakat sudah mempersiapkan diri untuk menuju masjid. Konon para orang tua kita dahulu sudah berada di masjid ketika waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi. Selama itu pula mereka beriktikaf di masjid, melaksanakan shalat-shalat sunat, membaca Al Qur’an, membaca shalawat, istighfar, dan ibadah lainnya sambil menunggu masuknya waktu pelaksanaan shalat Jum’at. Ketika usai melaksanakan shalat Jum’at, mereka masih menyelesaikan bacaan wirid-wiridan sampai akhirnya sama-sama melantunkan istighfar dan shalawat sambil berjabatan tangan.

            Namun, belakangan ini, hari Jum’at yang penuh dengan keistimewaan dan kemuliaan, banyak yang menganggap sebagai hal yang biasa, tak peduli keistimewaannya, mereka datang kemesjid sengaja mengulur-ulur waktu, datang terlambat dan pulang lebih cepat. Hal ini  dilakukan tidak saja oleh masyarakat awam, tetapi banyak pula dilakukan oleh  orang-orang yang berpendidikan tinggi dan punya gelar akademis yang banyak. Khotbah Jum’at hanya dimaknai sebagai ceramah pelengkap, didengari atau tidak bukanlah sesuatu yang amat penting. Padahal khotbah itu sendiri adalah intisari dari shalat Jum’at. Khotbah dimaksudkan untuk memberikan nasihat dan petuah-petuah keagamaan bagi kaum muslimin.

            Begitu pentingnya mendengarkan khotbah jum’at dapat dilihat dari hadits Rasulullah saw yang menjelaskan bahwa khotbah jum’at kedudukannya sama halnya dengan shalat 2 rakaat, dan barang siapa yang berbuat sia-sia ketika sang khatib menyampaikan khotbahnya, maka yang bersangkutan tidak mendapatkan pahala shalat Jum’at.

            Rasulullah saw bersabda yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, berbunyi:

اِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ  يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَاْلأِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ.

Artinya: Apabila engkau berkata kepada temanmu ‘diamlah” pada hari Jum’at, padahal imam/khatib sedang berkhutbah, maka kamu benar-benar telah melakukan sesuatu yang sia-sia.

            Hadits ini menerangkan tentang keharusan mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh khatib ketika melaksanakan shalat Jum’at, sebab khotbah bagian rukun mendirikan shalat Jum’at, dan dilarang bagi kita menegur teman yang sedang berbicara  sekalipun dengan kata-kata “diamlah”, karena hal tersebut termasuk perbuatan sia-sia yang mengakibatkan tidak mendapat pahala Jum’at.

            Begitu mulianya shalat Jum’at dan begitu istimewanya hari Jum’at sampai-sampai Rasulullah mewanti-wanti umatnya untuk tidak meninggalkan shalat Jum’at. Apabila meninggalkan shalat Jum’at selama tiga kali berturut-turut, maka orang tersebut dicap sebagai orang munafik.

            Rasulullah saw bersabda:

مَـنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ الْمُنَافِـقِـيْـنَ.

Artinya: Barang siapa meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali berturut-turut tanpa uzur, maka dicatat oleh Allah sebagai orang munafik.

            Di sinilah kesadaran umat Islam harus kembali memaknai shalat Jum’at sebagai ibadah yang sangat penting dan mulia. Kesadaran betapa penting dan mulianya shalat Jum’at, juga harus disampaikan kepada keluarga, kenalan, dan orang lain sebagai wujud dakwah amar ma’ruf nahi munkar kita, dan kepada orang tua sudah seharusnya pula mengajak dan membiasakan anak-anaknya sejak dini pergi ke masjid, serta tetap mendampingi selama pelaksanaannya, tanpa membiarkan ia bermain-main dengan temannya karena dikhawatirkan akan membuat suara gaduh ketika khotbah Jum’at berlangsung ataupun ketika shalat Jum’at  dilaksanakan, sebab bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengganggu kekhusyu’an jama’ah lainnya.